DALAM Ensiklopedi Islam karya Cyril Glasse, setan (syaithan) nyaris disamakan dengan iblis. Jika iblis yang berasal dari bahasa Yunani itu berarti "pemfitnah" atau "tipu daya", pribadi yang tugasnya melancarkan tipu daya disebut syaithan.
Dalam Al Quran, iblis dianggap sebagai musuh meski semula iblis termasuk golongan malaikat. Tetapi sejak ia menentang perintah Allah untuk bersujud menghormat kepada Adam, Allah mengusirnya. Jadilah iblis atau setan itu penggoda manusia untuk menyesatkan dari jalan yang benar.
Terminologi Hindu juga mengenal penggoda ciptaan Tuhan seperti iblis dan setan. Namanya bhuta, dari bahasa Sanskerta berarti unsur atau elemen yang bisa "mengikat" manusia dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Meski secara etimologis nama itu tidak ada kaitannya dengan suatu "mahluk", tetapi secara mitologis disebutkan, para bhuta diciptakan Tuhan untuk memperdaya dan menggoda manusia.
Tersebut dalam Siva Purana, Menaka amat ingin melihat ketampanan Dewa Siwa yang akan menikahi putrinya, Dewi Parwati. Namun, saat Siwa datang, Menaka justru menjadi pingsan karena yang dilihat makhluk dengan tiga mata, lima wajah, dan sepuluh tangan mengendarai seekor lembu. Tubuhnya dilumuri debu dan bulan sabit mengiasi kepalanya. Berpakaian kulit rusa dengan kalung tengkorak manusia, Siwa dikelilingi hantu yang amat menakutkan. Beruntung para Dewa dapat meyakinkan Menaka, Siwa yang sebenarnya tidak demikian. Saat Menaka percaya, Siwa memperlihatkan wujud aslinya yang amat tampan dengan tubuh bersinar.
Mirip alegori goa Plato, mitologi Siwa seolah ingin menegaskan, pandangan manusia bersifat dualistis, dari mereka yang tidak mengetahui (avidya) dan yang mengetahui (vidya). Awalnya Menaka tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang Siwa sehingga yang dia lihat adalah Siwa yang menakutkan. Tetapi setelah memperoleh pengetahuan tentang hakikat Siwa dari para dewa, pandangannya berubah, Siwa yang menakutkan menjadi Siwa yang menawan, tampan, dan bercahaya. Dualisme pandangan ini dalam perkembangan Hindu di Bali dikemas dalam semboyan bhuta ya, dewa ya yang lebih bersifat monistis, sebenarnya yang buruk (bhuta) maupun yang baik (dewa) pada hakikatnya adalah tunggal, sama-sama bermanfaat, tinggal bagaimana kita menyikapinya.
PELAKSANAAN upacara Tawur Kesanga, 20 Maret, sehari menjelang Nyepi (tahun baru Saka 1926) yang jatuh pada tanggal 21 Maret 2004, berkait dengan pergumulan untuk mendidik manusia yang "tidak berpengetahuan" (avidya) menjadi "berpengetahuan" (vidya). Caranya dengan mengubah bhuta (yang bersifat buruk) pada alam dan manusia menjadi dewa (yang bersifat baik). Dengan demikian, alam menjadi lestari dan manusia dapat melaksanakan ajaran agama dengan mantap.
Harus diingat, dalam ajaran Hindu, tidak ada ciptaan Tuhan yang dibenci, termasuk bhuta atau setan sekali pun. Godaan (setan) bisa berubah menjadi kekuatan jika disikapi dengan pengetahuan. Cobaan dan penderitaan jika dihadapi dengan pengetahuan dan usaha bisa menjadi awal kesuksesan yang membawa kemajuan. Jadi, pada tataran metafisik, Hindu amat dekat dengan mistik Islam, tasawuf. Penyair sufi terkenal, seperti Rabi’ah al-Adawiyah, ketika ditanya apakah dia tidak membenci setan, menjawab, "Cintaku kepada Allah telah menyebabkan aku tidak mempunyai kesempatan untuk membenci setan" (Siregar, 1999). Jawaban Rabi’ah al-Adawiyah ini sesuai sistem kerohanian dan filsafat Hindu yang mengutamakan hidup tanpa kebencian dan tanpa kekerasan (ahimsa), seperti yang telah dilaksanakan Mahatma Gandhi. Dalam tataran filsafat perenial, antara Hindu dan Islam ada kesamaan. Budhy Munawar-Rachman (dalam Hidayat dan Nafis, 2003) mengutip Huston Smith bahwa antara Hindu dan Islam yang semula dianggap berbeda ternyata "mempunyai kesatuan, bila tidak malah kesamaan" pada tingkat the common vision.
Jadi, masalahnya adalah pengetahuan. "Pengetahuan" dalam pengertian Hindu merupakan jalinan holistis antara filsafat (agama), logika, dan kontemplasi atau tindakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Upacara dan simbol, seperti dilakukan dalam rangkaian Nyepi, merupakan salah satu jalan untuk mengungkap pengetahuan itu. Masih ada jalan (marga) lain, seperti bhakti, karma (karya), jnana (ilmu pengetahuan), sampai raja yoga, berpuncak pada samadi, untuk mempersatukan atman (jiwa) dengan Brahman (Tuhan). Berbagai jalan itu dalam praktiknya saling mendukung dan melengkapi.
PENGANUT Hindu menyebut agamanya sanatana dharma, artinya "kebenaran abadi". Musisi dan sufi terkenal Hazrat Inayat Khan memberi arti dharma sebagai sesuatu yang hidup. Hidup sendiri adalah agama, dan "inilah agama sejati, agama masa lalu, dan akan menjadi agama masa depan".
Dalam Hindu, masyarakat awam diperkenankan melakukan ritual dengan caranya sendiri dan memperoleh kepuasan batin sama seperti pemeluk yang telah maju dalam pengetahuan dan kerohanian. Bhagavadgita menyebutkan, "Dengan jalan bagaimana pun orang-orang mendekati-Ku, dengan jalan yang sama itu juga Aku memenuhi keinginan mereka"(BG IV, 11). Mengacu sloka (ayat) Bhagavadgita itu, menjadi jelas tidak ada ritual atau cara peribadatan yang dianggap salah dalam ajaran Hindu. Tokoh pencerah agama seperti Vivekananda bahkan menolak konsep dosa. Yang ada hanya pendakian dari kebenaran yang lebih rendah menuju kebenaran lebih tinggi.
Dalam pendakian itu, umat Hindu menyelaraskan diri yang kecil (bhuwana alit) dengan alam besar (bhuwana agung). Apa pun yang ada dalam bhuwana agung juga dianggap ada dalam bhuwana alit. Setan yang ada di jagat besar sebenarnya ada di jagat kecil, pada diri sendiri. "Setan dalam diri" itulah yang paling berbahaya. Meski masih bisa diperdebatkan, Yoga menyebut setan diri "berwajah" tiga, kemarahan (krodha), keserakahan (lobha), dan keterikatan akibat kebingungan (moha). "Dari kemarahan, muncullah kebingungan; dari kebingungan, kecerdasan menjadi hilang; hilangnya kecerdasan menghancurkan kebijaksanaan, dan hancurnya kebijaksanaan akan menghancurkan diri sendiri" (BG II, 63).
Jika direnungkan secara mendalam, bukankah setan berwajah tiga itu yang menyebabkan terjadinya aneka masalah bangsa saat ini, seperti kekerasan, KKN, pembobolan bank, dan separatisme? Setan berwajah tiga itu pula yang sedang mengancam keselamatan bangsa dalam rangkaian Pemilu 2004 jika kita semua tidak waspada dan berhati-hati. Manusia bukan hanya daging, napas hidup, dan akal budi seperti ujar filsuf Marcus Aurelius. Manusia sejati adalah dewa pemaham dan penguasa atas diri sendiri.
Dalam Al Quran, iblis dianggap sebagai musuh meski semula iblis termasuk golongan malaikat. Tetapi sejak ia menentang perintah Allah untuk bersujud menghormat kepada Adam, Allah mengusirnya. Jadilah iblis atau setan itu penggoda manusia untuk menyesatkan dari jalan yang benar.
Terminologi Hindu juga mengenal penggoda ciptaan Tuhan seperti iblis dan setan. Namanya bhuta, dari bahasa Sanskerta berarti unsur atau elemen yang bisa "mengikat" manusia dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Meski secara etimologis nama itu tidak ada kaitannya dengan suatu "mahluk", tetapi secara mitologis disebutkan, para bhuta diciptakan Tuhan untuk memperdaya dan menggoda manusia.
Tersebut dalam Siva Purana, Menaka amat ingin melihat ketampanan Dewa Siwa yang akan menikahi putrinya, Dewi Parwati. Namun, saat Siwa datang, Menaka justru menjadi pingsan karena yang dilihat makhluk dengan tiga mata, lima wajah, dan sepuluh tangan mengendarai seekor lembu. Tubuhnya dilumuri debu dan bulan sabit mengiasi kepalanya. Berpakaian kulit rusa dengan kalung tengkorak manusia, Siwa dikelilingi hantu yang amat menakutkan. Beruntung para Dewa dapat meyakinkan Menaka, Siwa yang sebenarnya tidak demikian. Saat Menaka percaya, Siwa memperlihatkan wujud aslinya yang amat tampan dengan tubuh bersinar.
Mirip alegori goa Plato, mitologi Siwa seolah ingin menegaskan, pandangan manusia bersifat dualistis, dari mereka yang tidak mengetahui (avidya) dan yang mengetahui (vidya). Awalnya Menaka tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang Siwa sehingga yang dia lihat adalah Siwa yang menakutkan. Tetapi setelah memperoleh pengetahuan tentang hakikat Siwa dari para dewa, pandangannya berubah, Siwa yang menakutkan menjadi Siwa yang menawan, tampan, dan bercahaya. Dualisme pandangan ini dalam perkembangan Hindu di Bali dikemas dalam semboyan bhuta ya, dewa ya yang lebih bersifat monistis, sebenarnya yang buruk (bhuta) maupun yang baik (dewa) pada hakikatnya adalah tunggal, sama-sama bermanfaat, tinggal bagaimana kita menyikapinya.
PELAKSANAAN upacara Tawur Kesanga, 20 Maret, sehari menjelang Nyepi (tahun baru Saka 1926) yang jatuh pada tanggal 21 Maret 2004, berkait dengan pergumulan untuk mendidik manusia yang "tidak berpengetahuan" (avidya) menjadi "berpengetahuan" (vidya). Caranya dengan mengubah bhuta (yang bersifat buruk) pada alam dan manusia menjadi dewa (yang bersifat baik). Dengan demikian, alam menjadi lestari dan manusia dapat melaksanakan ajaran agama dengan mantap.
Harus diingat, dalam ajaran Hindu, tidak ada ciptaan Tuhan yang dibenci, termasuk bhuta atau setan sekali pun. Godaan (setan) bisa berubah menjadi kekuatan jika disikapi dengan pengetahuan. Cobaan dan penderitaan jika dihadapi dengan pengetahuan dan usaha bisa menjadi awal kesuksesan yang membawa kemajuan. Jadi, pada tataran metafisik, Hindu amat dekat dengan mistik Islam, tasawuf. Penyair sufi terkenal, seperti Rabi’ah al-Adawiyah, ketika ditanya apakah dia tidak membenci setan, menjawab, "Cintaku kepada Allah telah menyebabkan aku tidak mempunyai kesempatan untuk membenci setan" (Siregar, 1999). Jawaban Rabi’ah al-Adawiyah ini sesuai sistem kerohanian dan filsafat Hindu yang mengutamakan hidup tanpa kebencian dan tanpa kekerasan (ahimsa), seperti yang telah dilaksanakan Mahatma Gandhi. Dalam tataran filsafat perenial, antara Hindu dan Islam ada kesamaan. Budhy Munawar-Rachman (dalam Hidayat dan Nafis, 2003) mengutip Huston Smith bahwa antara Hindu dan Islam yang semula dianggap berbeda ternyata "mempunyai kesatuan, bila tidak malah kesamaan" pada tingkat the common vision.
Jadi, masalahnya adalah pengetahuan. "Pengetahuan" dalam pengertian Hindu merupakan jalinan holistis antara filsafat (agama), logika, dan kontemplasi atau tindakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Upacara dan simbol, seperti dilakukan dalam rangkaian Nyepi, merupakan salah satu jalan untuk mengungkap pengetahuan itu. Masih ada jalan (marga) lain, seperti bhakti, karma (karya), jnana (ilmu pengetahuan), sampai raja yoga, berpuncak pada samadi, untuk mempersatukan atman (jiwa) dengan Brahman (Tuhan). Berbagai jalan itu dalam praktiknya saling mendukung dan melengkapi.
PENGANUT Hindu menyebut agamanya sanatana dharma, artinya "kebenaran abadi". Musisi dan sufi terkenal Hazrat Inayat Khan memberi arti dharma sebagai sesuatu yang hidup. Hidup sendiri adalah agama, dan "inilah agama sejati, agama masa lalu, dan akan menjadi agama masa depan".
Dalam Hindu, masyarakat awam diperkenankan melakukan ritual dengan caranya sendiri dan memperoleh kepuasan batin sama seperti pemeluk yang telah maju dalam pengetahuan dan kerohanian. Bhagavadgita menyebutkan, "Dengan jalan bagaimana pun orang-orang mendekati-Ku, dengan jalan yang sama itu juga Aku memenuhi keinginan mereka"(BG IV, 11). Mengacu sloka (ayat) Bhagavadgita itu, menjadi jelas tidak ada ritual atau cara peribadatan yang dianggap salah dalam ajaran Hindu. Tokoh pencerah agama seperti Vivekananda bahkan menolak konsep dosa. Yang ada hanya pendakian dari kebenaran yang lebih rendah menuju kebenaran lebih tinggi.
Dalam pendakian itu, umat Hindu menyelaraskan diri yang kecil (bhuwana alit) dengan alam besar (bhuwana agung). Apa pun yang ada dalam bhuwana agung juga dianggap ada dalam bhuwana alit. Setan yang ada di jagat besar sebenarnya ada di jagat kecil, pada diri sendiri. "Setan dalam diri" itulah yang paling berbahaya. Meski masih bisa diperdebatkan, Yoga menyebut setan diri "berwajah" tiga, kemarahan (krodha), keserakahan (lobha), dan keterikatan akibat kebingungan (moha). "Dari kemarahan, muncullah kebingungan; dari kebingungan, kecerdasan menjadi hilang; hilangnya kecerdasan menghancurkan kebijaksanaan, dan hancurnya kebijaksanaan akan menghancurkan diri sendiri" (BG II, 63).
Jika direnungkan secara mendalam, bukankah setan berwajah tiga itu yang menyebabkan terjadinya aneka masalah bangsa saat ini, seperti kekerasan, KKN, pembobolan bank, dan separatisme? Setan berwajah tiga itu pula yang sedang mengancam keselamatan bangsa dalam rangkaian Pemilu 2004 jika kita semua tidak waspada dan berhati-hati. Manusia bukan hanya daging, napas hidup, dan akal budi seperti ujar filsuf Marcus Aurelius. Manusia sejati adalah dewa pemaham dan penguasa atas diri sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar